Monday, June 23, 2014

Personality and Health Behaviour


Kestabilan individual pada setiap orang berbeda-beda tergantung pada bagaimana individu tersebut berfikir, merasa dan berperilaku. Hal ini juga yang menjadi cerminan bagaimana seseorang menyikapi kesehatannya.
Hal-hal yang juga berhubungan dengan kesehatan seperti optimistik, pola perilaku terhadap diri sendiri dan juga sikap negatif terhadap orang lain. Pola perilaku tersebut mencakup neuroticism, extraversion dan conscientiousness.

2.2.1.      Optimism
Optimistik merupakan bagaimana individu hanya mempercayai hal-hal yang baik saja yang akan terjadi bukan sebaliknya. Tetapi pada kebanyakan orang sikap optimis hanya ditempatkan pada diri sendiri dan malah pesimis terhadap hal-hal lain. Seperti, manusia cenderung optimis bahwa dia tidak akan terserang penyakit yang serius tetapi pesimis bahwa tim sepak bola kesayangannya akan memenangkan pertandingan.
            Penelitian menyatakan bahwa orang-orang yang level optimisnya tinggi memiliki kesehatan fisik yang lebih baik dan juga membuat mereka hidup lebih lama. Misalnya saja orang-orang yang lebih optimis lebih sedikit terkena penyakit dan juga lebih sedikit mengalami gejala kesakitan fisik selama periode stres. (Peterson & Seligman, 1987).
            Menurut Scheier, Weintraub dan Carver (1986) Individu yang optimis cenderung terpaku pada strategi dan perencanaan yang dibuatnya, sangat fokus terhadap masalah dan juga cenderung mencari dukungan sosial.

2.2.2.      Type A Behaviour and Hostility
Pola perilaku tipe A memiliki ciri-ciri seperti kompetitif, agresi, tingkat ketidaksabaran yang tinggi dan merasa waktu mendesak (Rosenman et al., 1976). Pola perilaku tipe A diteliti oleh 2 orang kardiologis, Meyer Friedman dan Ray Rosenman yang menyatakan bahwa kerusakan jantung tidak sepenuhnya disebabkan oleh faktor-faktor seperti diet kolesterol & merokok.
Mereka membantu mengembangkan Western Collaborative Group study, yang meneliti faktor risiko penyakit jantung koroner (CHD) dalam sampel lebih dari 3000, pria paruh baya yang sehat. Mereka menemukan bahwa setelah 8,5 tahun mereka yang diklasifikasikan sebagai Tipe A memiliki sekitar dua kali risiko terkena CHD daripada mereka yang tidak diklasifikasikan sebagai Tipe A.
Namun, penelitian berikutnya telah menyarankan bahwa mungkin hanya aspek-aspek tertentu dari perilaku Tipe A merupakan risiko CHD. Secara khusus, hostility telah muncul sebagai komponen yang paling beracun pada tipe perilaku A dan salah satu yang memprediksi CHD (Miller et al., 1996).
Hostility telah didefinisikan sebagai “sikap negatif terhadap orang lain, yang terdiri dari permusuhan, fitnah dan niat buruk” (Smith, 1994, p.26). Komponen karakteristik ini adalah sinis terhadap motif orang lain, ketidakpercayaan dan gaya atribusi bermusuhan; yaitu kecenderungan untuk menafsirkan tindakan orang lain sebagai agresif (Smith et al., 2004). Meskipun definisi ini terutama kognitif, konstruksi emosi dan perilaku terkait kemarahan dan agresi sering dimasukkan dalam konstruk permusuhan (Miller et al.,1996). Konstruk diukur dengan menggunakan item-item seperti ‘beberapa keluarga saya memiliki kebiasaan yang mengganggu dan sangat mengganggu saya’ dan ‘lebih aman untuk tidak percaya’, dengan respon ‘benar’ yang menunjukkan tingkat yang lebih tinggi hostility (Cook & Medley, 1954). Ulasan berbagai penelitian yang meneliti permusuhan dan CHD menunjukkan bahwa ada hubungan yang kecil tapi konsisten antara keduanya (Miller et al., 1996). Ada beberapa mekanisme yang mungkin mendasari efek permusuhan pada CHD (Smith et al., 2004). Individu yang tinggi dalam hostility mungkin mengalami lebih banyak stres melalui konflik interpersonal dan menunjukkan reaksi fisiologis yang lebih kuat terhadap stres tersebut. Selain itu, orang bermusuhan mungkin sinis terhadap peringatan kesehatan atau resisten terhadap nasihat medis dan mungkin jadi lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku kesehatan seperti olahraga dan tidak merokok.
Penelitian yang lebih baru juga sekarang mengeksplorasi bagaimana ciri-ciri kepribadian seperti hostility berkembang. Beberapa penelitian menyatakan bahwa hostility kemungkinan dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dengan perilaku yang negatif dalam berinteraksi.

2.2.3.      Neuroticism
Merupakan salah satu dari Big Five personality traits dari model OCEAN. Hal ini merupakan kecenderungan dalam mengalami emosi negatif seperti distres, kecemasan, ketakutan, kemarahan dan perasaan bersalah (Watson & Clark, 1984). Emosi yang negatif disini merujuk kepada efek yang negatif. Tingkat neuroticism yang tinggi atau pengaruh negatif akan khawatir tentang masa depan, memikirkan kegagalan dan kekurangan, dan memiliki pandangan yang kurang menguntungkan tentang diri mereka sendiri dan orang lain. Individu yang tinggi neuroticism lebih mungkin untuk memikirkan pernyataan seperti 'banyak khawatir' dan 'mudah marah' sebagai gambaran diri yang baik (International Personality Item Pool, http://ipip.ori.org/ipip).
Penelitian menunjukkan bahwa orang-orang dengan tingkat neuroticsm yang tinggi mengalami gejala fisik yang lebih intens (Affleck et al., 1992). Sebagai contoh, Costa dan McCrae (1987) melaporkan neurotisisme berhubungan dengan frekuensi penyakit, masalah kardiovaskular, masalah pencernaan dan kelelahan pada sampel wanita dengan berbagai usia. Seperti permusuhan, sejumlah mekanisme neurotisisme dapat mempengaruhi hasil kesehatan. Salah satu cara di mana neurotisisme mungkin berhubungan dengan hasil kesehatan mungkin dirasakan atau stres yang dialami. Misalnya, mereka yang affectnya tinggi cenderung untuk negatif melihat peristiwa seperti lebih stres dan sulit untuk mengatasi daripada mereka yang rendah affect negatifnya (Watson, 1988). Tingkat tinggi neurotisisme juga dapat mendorong orang untuk melihat dan mengeluh tentang gejala-gejala yang mereka alami. Memang, studi menemukan bahwa neurotisisme lebih baik memprediksi laporan sendiri daripada nilai obyektif kesehatan fisiknya (Watson & Pennebaker, 1989).
Neurotisisme telah terbukti berhubungan dengan lebih banyak merokok dan penyalahgunaan alkohol dan makanan yang kurang sehat dan olahraga (Booth-Kewley & Vickers, 1994). Sebagai contoh, dalam kaitannya dengan merokok, studi longitudinal menemukan bahwa mereka yang memiliki skor yang lebih tinggi neurotisisme cenderung lebih mungkin untuk merokok dan menjaga kebiasaan itu (e.g. Canals, Blade & Domenech, 1997). Mekanisme akhir dimana neurotisisme dapat mempengaruhi kesehatan adalah melalui perubahan fisiologis. Penelitian telah menyoroti bahwa tingkat neurotisisme yang lebih tinggi dapat mengurangi fungsi kekebalan tubuh (Kiecolt-Glaser et al., 2002).

2.2.4.      Extraversion
Extraversion adalah salah satu trait kepribadian berdasarkan teori kepribadian big five OCEAN model. Orang-orang yang memiliki level yang tinggi pada trait kepribadian ini disebut extraverts dan yang level rendah disebut introverts. Extraverts cenderung merupakan orang-orang yang outgoing, mudah bersosialisasi, asertif, memiliki semangat yang tinggi, dan suka akan tantangan baru namun sangat mudah bosan. Sedangkan introverts cenderung lebih waspada, serius, dan menghindari aktivitas dan lingkungan yang berlebihan bagi dirinya.
Trait kepribadian extraversion telah ditemukan berasosiasi dengan kesejahteraan psikologis yang positif dan kesehatang fisik yang lebih baik. kesejahteraan psikologis misalnya karena orang yang ekstroverts dikatakan lebih memiliki mood yang positif, dan kaitannya dengan kesehatan fisik, orang yang ekstroverts dikatakan memiliki resiko yang lebih rendah terkena penyakit jantung koroner, asma, dan sebagainya (Friedman & Booth-Kewley, 1987).
Namun penjelasan yang pasti untuk hubungan antara extraversion dan kesehatan masih belumlah jelas sepenuhnya. Hubungan keduanya mungkin dikarenakan para ekstroverts mengalami tingkat stres yang lebih rendah, memiliki strategi coping stress yang lebih baik, atau bahkan karena memiliki dukungan sosial yang lebih daripada introverts. Sama halnya juga dengan perilaku sehat yang dilakukan, belum ada bukti yang pasti antara hubungan keduanya. Namun extroverts juga cenderung diasosiasikan baik dengan perilaku sehat yang baik misalnya berolahraga (Rhodes&Courneya, 2003) maupun perilaku yang berisiko bagi kesehatan misalnya merokok (Booth-Knowley&Vickers,1994).

2.2.5.       Conscientiousness
Conscientiousness adalah suatu trait kepribadian yang mengacu pada kemampuan untuk mengontrol perilaku dan kemampuan menyelesaikan tugas. Individu dengan level yang tinggi pada trait ini lebih teratur, hati-hati, teguh, disiplin, dan berorientasi pada pencapaian (achievements) daripada individu yang memiliki level conscientiousness yang lebih rendah (McCrae&Costa, 1987).  Penelitian mengatakan bahwa trait ini memiliki dampak pada perilaku sehat, kesehatannya, dan bahkan panjang umurnya seseorang. Contohnya, the Terman life-cycle personality cohort study yang mengukur conscientiousness, optimism, self-esteem, sociability, stability of mood and energy level pada sekitar 1000 anak dari umur 11 tahun. Friedman et al. (1993) melaporkan bahwa di antara variabel variabel diatas, hanya conscientiousness yang berasosiasi dengan rendahnya tingkat kematian di dalam kehidupan selanjutnya. Faktanya, orang-orang yang dengan conscientiousness yang tinggi hidup lebih lama (sekitar 2 tahun) jika dibandingkan mereka yang memiliki level conscientiousness yang rendah.
Mekanisme terpenting dimana conscientiousness mempengaruhi kesehatan adalah melalui perilaku sehat. Dari penelitian diatas dikatakan dampak conscientiousness pada panjang umurnya individu disebabkan adanya efek pengurangan merokok dan alkohol. Conscientiousness dikatakan berhubungan positif dengan perilaku protektif terhadap kesehatan (olahraga) dan berkorelasi negatif dengan perilaku berisiko terhadap kesehatan (merokok).

2.3 PREDICTING HEALTH BEHAVIOR

Sama halnya dengan faktor kepribadian, pikiran dan perasaan kita juga berasosiasi dengan perilaku sehat. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa model yang menjadi kunci pikiran dan perasaan dapat memprediksikan perilaku sehat seseorang.

2.3.1 The Health Belief Model
The Health Belief  Model (HBM) mengatakan bahwa perilaku sehat sangat ditentukan oleh dua aspek dari kognisi individual tentang perilaku sehat yaitu persepsi ancaman penyakit (terbagi atas kerentanan (susceptibility) dan keparahan (severity)) dan evaluasi dari perilaku (terbagi atas kerugian/hambatan (costs) dan manfaat (benefit)) untuk menurunkan ancaman. Persepsi ancaman didasarkan pada dua keyakinan (belief): kerentanan yang dirasakan individu terhadap penyakit dan tingkat keparahan yang dirasakan dari konsekuensi dari penyakit tersebut bagi individu. Persepsi tersebut akan mempengaruhi derajat ancaman yang akan diterima individu. Evaluasi respon yang mungkin terhadap ancaman tersebut melibatkan pertimbangan manfaat dan hambatan yang berpotensial untuk bertindak untuk mengurangi ancaman ini.
Di dalam HBM, keempat faktor belief tersebut menentukan kecenderungan individu untuk melakukan perilaku kesehatan. Tindakan yang diambil ditentukan oleh evaluasi dari alternatif yang tersedia. Evaluasi ini berfokus pada manfaat dari perilaku kesehatan dan hambatan yang diterima dengan melakukan perilaku tersebut. Sehingga individu lebih cenderung untuk melakukan perilaku kesehatan ketika mereka percaya bahwa diri mereka rentan terhadap suatu kondisi tertentu yang mereka juga mempertimbangkan hal tersebut dengan serius, dan percaya bahwa manfaat dari tindakan yang dilakukan untuk melawan ancaman kesehatan lebih besar daripada hambatannya.
HBM telah menyediakan kerangka kerja untuk menyelidiki perilaku kesehatan dan telah banyak digunakan. Dan telah ditemukan  berhasil dalam memprediksi berbagai perilaku kesehatan.

2.3.2 Theory of Planned Behavior
Theory of Planned Behavior (TPB) banyak dikembangkan oleh psikolog sosial dan kemudian diaplikasikan pada perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (Corner & Sparks, 2005). TPB berfokus pada cara menentukan keputusan individu dalam berperilaku. Faktor – faktor penting dalam menentukan hal ini adalah intensi individu dalam berperilaku (intention) dan persepsi terhadap kontrol perilaku (Perceived Behavioural Control).  Intensi adalah rencana atau keputusan untuk melakukan suatu perilaku. Perceived Behavioural Control (PBC) adalah keyakinan seseorang bahwa dia bisa melakukan perilaku tersebut. PBC dalam teori ini mirip dengan konsep self-efficacy dari Bandura (1982).
Dalam TPB, intensi didasari oleh 3 faktor, yaitu attitudes, subjective norms dan PBC. Attitudes adalah evaluasi individu terhadap perilaku yang dilakukan dan kemudian  dinilai apakah perilaku tersebut bersifat positif atau negatif. Subjective norms adalah persepsi mengenai pendapat orang lain. PBC juga mempengaruhi intensi dan kepercayaan individu tersebut dalam melakukan perilaku tersebut. Menurut teori TPB, orang yang ingin berhenti merokok apabila dia memiliki pemikiran positif terhadap berhenti merokok (attitudes), orang-orang disekitarnya juga berpikir bahwa dia harus berhenti (subjective norms) dan apakah individu tersebut yakin dia bisa berhenti merokok (PBC).
Attitude dalam melakukan suatu perilaku bergantung pada kepercayaan atau keyakinan terhadap hasil akhir (outcomes) dari perilaku tersebut. Kepercayaan ini disebut dengan behavioural beliefs atau outcome expectancies. Misalnya, individu yang berolahraga yakin bahwa dengan berolahraga, resiko terkena penyakit jantung akan menurun.
Subjective Norms didasari pada apakah orang lain akan menyetujui perilaku yang akan dilakukan atau yang disebut dengan normative beliefs. Normative beliefs dipengaruhi oleh motivasi untuk mengikuti keinginan orang sekitar (motivation to comply). Semakin banyak yang menyetujui perilaku tersebut, semakin positif subjective norms.
PBC dipengaruhi oleh control beliefs. Control beliefs melihat faktor-faktor apa saja yang membuat perilaku itu lebih gampang atau lebih sulit dilakukan. Faktor-faktor terkontrol ini dapat berupa faktor internal (informasi, personal deficiencies, skill, emosi) dan faktor eksternal (kesempatan, kebergantungan terhadap yang lain, halangan).
PBC dalam TPB berhubungan erat dengan self-efficacy (SE). SE adalah kepercayaan seseorang bahwa dia memiliki kemampuan dan sumber daya untuk mencapai suatu goal walaupun terdapat halangan. Individu yang memiliki SE yang tinggi akan cenderung untuk melakukan suatu perilaku. Perilaku tersebut dapat berupa perilaku yang berhubungan kesehatan sampai dengan kemampuan akademis (Bandura, 1997). SE dapat membantu individu untuk tetap memiliki motivasi dalam melakukan suatu perilaku. Individu yang yakin bahwa dia bisa sukses dalam melakukan sesuatu akan berusaha untuk mencari tantangan yang lain. Mereka akan lebih berusaha keras untuk mencapai goal baru tersebut.SE yang tinggi akan menunjukkan tingkat konsentrasi yang tinggi (Wood & Bandura, 1989) yang kemudian dapat mengurangi tingkat kecemasan dalam melakukan suatu perilaku.
TPB memiliki faktor-faktor penting dalam perilaku yang terjadi. Walaupun faktor lainnya juga berpengaruh terhadap perilaku tersebut, faktor tersebut akan mempengaruhi salah satu komponen dari TPB.

2.3.3 Integrated Models of the Determinants of Health Behavior
HBM dan TPB adalah teori yang hampir menyerupai namun tetap ada perbedaan diantara keduanya. Perbedaan ini dapat diatasi dengan pengintergrasian model seperti yang dilakukan oleh Martin Fishbein. Martin Fishbein dan rekannya mengemukakan Major Theorists Model yang menyatakan bawha perilaku yang muncul disebabkan oleh intensi, kendala yang berasal dari lingkungan dan kemampuan individu (intentions, environmental constraints & skills).
Model yang telah diintergrasikan (intergrated model) meliputi 8 variabel yang dapat mempengaruhi suatu perilaku. Variabel tersebut kemudian dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama meliputi variabel yang dianggap penting dan merupakan faktor penting dari suatu perilaku. Agar suatu perilaku dapat terjadi, individu harus :
-          Memiliki intensi yang kuat
-          Memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan perilaku tersebut
-          Tidak ada halangan yang berasal dari lingkungan sekitar
Kelompok kedua meliputi variabel yang dianggap mempengaruhi intensi walaupun ada beberapa yang mempengaruhi perilaku secara langsung. Intensi yang kuat untuk melakukan suatu perilaku terjadi ketika individu :
-  Mempersepsikan bahwa keuntungan dari melakukan dari suatu perilaku lebih besar daripada kerugiannya.
-  Mempersepsikan bahwa tekanan norma subjektif (subjective norms) untuk melakukan sesuatu lebih besar daripada untuk tidak melakukan sesuatu
-  Percaya bahwa perilaku tersebut konsisten dengan self-image.
-  Mengantisipasi reaksi emosi untuk melakukan sesuatu lebih positif daripada negatif
-  Memiliki self-efficacy yang tinggi
Model yang telah diintergrasikan ini merupakan prediktor utama dalam suatu perilaku namun model ini belum banyak dikembangkan dan diaplikasikan seperti HBM dan TPB.

2.4 CHANGING HEALTH BEHAVIOR

Setelah memahami mengenai perilaku kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan, selanjutnya kita harus menggunakan pengetahuan tersebut untuk meningkatkan pola perilaku kesehatan dan mengurangi pola perilaku yang tidak sehat. Berikut akan dijelaskan tiga cara dalam mengubah perilaku yang berhubungan dengan kesehatan.

a.      Cognitive Dissonance
Festinger (1957) melalui Cognitive Dissonance Theory menyatakan bahwa manusia termotivasi untuk memiliki pandangan yang konsisten mengenai dunia karena ketidakkonsistenan menghasilkan disonansi. Dengan kata lain, individu yang berperilaku secara tidak konsisten terhadap sikap mereka akan meninmbulkan suatu perasaan tidak nyaman yang disebut cognitive dissonance. Setiap individu kemudian akan berusaha mengurangi perasaan tidak nyaman tersebut dengan mengubah sikap mereka.
Teori ini menjelaskan salah satu hal yang dapat mendorong perubahan sikap. Jika diterapkan dalam bidang kesehatan,maka perilaku dan sikap terhadap kesehatan dapat berubah. Ketika seseorang mengalami disonansi, maka cara yang paling mudah untuk mengurangi rasa tidak nyaman itu adalah dengan mengubah sikap mereka terhadap suatu hal agar sesuai dengan perilaku mereka.
Untuk itu, berdasarkan teori ini, akan sangat memungkinkan untuk mengubah perilaku kesehatan seseorang dengan memunculkan perbedaan antara sikap dengan perilaku. Perbedaan kognitif ditunjukkan antara perilaku apa yang dianggap seharusnya dilakukan dengan perilaku kesehatan yang mereka lakukan sendiri. Teknik ini tidak mampu mengubah sikap seseorang secara langsung namun bertujuan mengubah persepsi seseorang mengenai hasil dari perilaku mereka. Biasanya teknik ini akan lebih bekerja jika dihubungkan dengan perilaku di masa lalu individu.

b.      Attitude Change
Attitude change atau perubahan sikap adalah perubahan pada konstruk hipotetis seseorang pada aspek kognitif, afektif atau dan perilaku yang dikarenakan pesan persuasi yang ditujukan pada seseorang. Menurut Petty dan Cacioppo (1986) , ada dua cara suatu pesan persuasive dapat menyebabkan perubahan sikap seseorang, yaitu:

·         Central or Systematic Route
Rute ini menjelaskan bahwa dalam menerima pesan persuasi, informasi akan dianalisa secara sistematik dan hati-hati. Perubahan sikap akan dipengaruhi apakah pesan tersebut menimbulkan pemikiran yang menyenangkan. Jika setelah menerima pesan persuasi, seseorang tersebut merasakan keuntungan dan timbul pemikiran positif, maka sikap terhadap isi pesan itu juga akan positif.

·         Peripheral or Heuristic Route
Melalui rute ini, informasi yang diterima tidak dipikirkan dengan hati-hati. Perubahan sikap tidak dipengaruhi isi pesan melainkan muncul tidaknya peripheral cues, yang melihat apakah pesan tersebut datang dari seorang ahli. Berdasarkan rute ini, perubahan sikap seseorang akan lebih mungkin terjadi apabila pesan datang dari seorang ahli.

Pada kenyataannya, di kehidupan sehari-hari, orang tidak akan mampu menganalisa keseluruhan pesan persuasif secara sistematis. Petty dan Cacioppo kemudian mengemukakan Elaboration Likelihood Model (ELM) yang menjelaskan mengenai elaborasi kognitif, yaitu seberapa besar pemrosesan sistematis pada suatu pesan.
Tinggi rendahnya elaborasi ditentukan motivasi dan kemampuan untuk berpikir mengenai pesan. Motivasi seseorang akan tinggi jika pesan tersebut menarik baginya. Kemampuan untuk memikirkan pesan dipengaruhi ada tidaknya tekanan waktu atau gangguan lain yang dapat menghambat proses berpikir terhadap pesan.  
Elaborasi kognitif yang tinggi diasosiasikan dengan central route, dengan motivasi tinggi dan kemampuan menganalisa pesan dengan sistematis. Berhasil atau tidaknya suatu proses persuasi akan bergantung pada kuatnya argument. Argument yang kuat akan mampu mempengaruhi seseorang dan sebaliknya argument yang lemah tidak akan berpengaruh..
Seseorang akan mampu menggunakan rute ini apabila memiliki waktu untuk memikirkan pesan secara sistematis dan juga apabila ia  melihat pesan tersebut relevan dengan pribadinya. Fokus individu tersebut akan pada kuatnya argument dan tidak melihat apakah sumber informasinya merupakan seorang ahli atau  bukan.
Rute ini memerlukan usaha yang lebih dan merupakan pandangan tradisional mengenai proses persuasi. Perubahan sikap yang terjadi cenderung lebih stabil dan mampu mengubah perilaku.

Elaborasi kognitif yang rendah diasosiasikan dengan peripheral route, dimana motivasi rendah dan kemampuan memikirkan pesan juga rendah. Berhasil tidaknya suatu proses persuasi bergantung pada karakteristik lain selain isi pesan. Seorang individu akan mengevaluasi pesan dengan suatu aturan sederhana atau dengan pola pengambilan keputusan singkat (heuristik), seperti :
v  Expertise – ketepatan /akurasi, menjelaskan suatu pesan akan benar jika dikemukakan oleh seorang ahli.
v  Consensus – kebenaran, menjelaskan suatu pesan akan benar jika banyak orang yang setuju.
v  Length – kekuatan, menjelaskan suatu pesan akan benar jika mengandung banyak argumen.
Ada kalanya, kemampuan menganalisa pesan seseorang rendah diakibatkan oleh tekanan situasional, seperti waktu yang singkat dalam memproses informasi. Selain itu, juga dipengaruhi perbedaan individual yang diakarenakan kepribadian orang per orang. Ketika seseorang merasa memiliki relevansi yang rendah dengan isi pesan, ia juga akan lebih cenderung menggunakan peripheral route ini dimana akan lebih kuat dipengaruhi oleh ahli sebagai sumber informasi.  Rute ini memerlukan usaha yang lebih rendah dan perubahan sikap yang terjadi kurang stabil atau mudah berubah lagi.
Dalam aplikasinya dalam dunia kesehatan, ahli kesehatan harus mendukung pemrosesan sistematik yang menekankan relevansi personal, memberikan presentasi yang bebas gangguan, menggunakan pengulangan dan meningkatkan keyakinan dalam penilaian masing-masing individu.

c.       Enhancing Self-efficacy
Menurut Bandura (1997), self-effficacy seseorang dapat meningkat melalui :
·         Mastery experience
Pengalaman seseorang berhasil melakukan sesuatu meningkatkan kepercayaan diri seseorang dalam melaksanakan suatu tugas baru yang mirip dengan tugas sebelumnya. Dengan teori ini, dalam suatu proses pembelajaran sebaiknya dilakukan dengan teknik graded tasks. Yaitu suatu teknik pembelajaran dengan memberikan tugas yang mampu dilakukan individu tersebut dan ditingkatkan kesulitannya. Dengan teknik ini, akan melatih kemampuannya dan juga memberikan feedback yang juga meningkatkan self-effficacy

·         Vicarious experience
Ketika melihat orang lain (yang dipersepsikan memiliki karakteristik yang sama ) mampu melakukan suatu tugas – positive models – maka seorang individu juga akan lebih yakin bahwa ia mampu menyelesaikan tugas tersebut dan meningkatkan self-effficacy . Sebaliknya jika seseorang melihat orang tersebut gagal – negative models –, maka ini akan menurunkan self-effficacy orang tersebut.

·         Verbal persuasion
Seseorang juga dapat dipersuasi dengan argument yang menyatakan bahwa orang lain mampu dan berhasil dalam melakukan tugas dengan tantangan yang sama dengan tugas yang akan dijalani orang tersebut. orang juga dapat dipersuasi dengan menekankan kemampuan dan keberhasilan individu itu sendiri di masa lalu. Teknik ini akan lebih efektif dengan mengoptimalkan kepercayaan dan keahlian sumber informasi.

·         Mengubah  persepsi mengenai kondisi fisiologis dan afektif.
Emosi afektif ataupun kondisi fisiologis yang muncul ketika melakukan suatu tugas dipersepsika secara positif sehingga dapat meningkatkan performa dan meningkatkan self-effficacy.

Secara keseluruhan, dalam aplikasi dalam psikologi kesehatan, akan lebih efektif untuk meningkatkan perilaku kesehatan apabila digunakan kombinasi dari ketiga metode di atas. Berdasarkan penelitian yang dihubungkan dengan kepribadian, seseorang yang memiliki need for cognition – kecenderungan menikmati proses berpikir – yang tinggi,  jika dimasukkan dalam kelompok dengan kepribadian yang berbeda-beda maka proses persuasi dapat menjadi lebih efektif. Sebaliknya seseorang dengan need for cognition yang rendah, cenderung menggunakan peripheral route, sehingga akan lebih efektif jika dipersuasi dengan pendekatan afeksi mengenai suatu perilaku.



 KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Psikologi Kesehatan berkembang dari psikologi sosial, psikologi perkembangan, penelitian mengenai kepribadian dan perbedaan individu. Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kepribadian individu seperti sifat optimis, neuroticism, conscientiousness, dan sebagainya dapat mempengaruhi kesehatan individu.
Para ahli juga menemukan beberapa model-model kognitif yang mempengaruhi perilaku seseorang. Model ini adalah Health Belief Model, The Theory of Planned Behaviour, dan Integrated Model dari Fishbein dan rekannya.
Kognitif individu juga berpengaruh terhadap perilaku individu. Terdapat 3 cara untuk merubah perilaku seseorang, yaitu cognitive dissonance, attitude change dan enhancing self-efficacy.


No comments:

Post a Comment