Kestabilan
individual pada setiap orang berbeda-beda tergantung pada bagaimana individu
tersebut berfikir, merasa dan berperilaku. Hal ini juga yang menjadi cerminan bagaimana
seseorang menyikapi kesehatannya.
Hal-hal
yang juga berhubungan dengan kesehatan seperti optimistik, pola perilaku
terhadap diri sendiri dan juga sikap negatif terhadap orang lain. Pola perilaku
tersebut mencakup neuroticism, extraversion dan conscientiousness.
2.2.1.
Optimism
Optimistik
merupakan bagaimana individu hanya mempercayai hal-hal yang baik saja yang akan
terjadi bukan sebaliknya. Tetapi pada kebanyakan orang sikap optimis hanya
ditempatkan pada diri sendiri dan malah pesimis terhadap hal-hal lain. Seperti,
manusia cenderung optimis bahwa dia tidak akan terserang penyakit yang serius
tetapi pesimis bahwa tim sepak bola kesayangannya akan memenangkan
pertandingan.
Penelitian menyatakan bahwa
orang-orang yang level optimisnya tinggi memiliki kesehatan fisik yang lebih
baik dan juga membuat mereka hidup lebih lama. Misalnya saja orang-orang yang
lebih optimis lebih sedikit terkena penyakit dan juga lebih sedikit mengalami
gejala kesakitan fisik selama periode stres. (Peterson & Seligman, 1987).
Menurut Scheier, Weintraub dan
Carver (1986) Individu yang optimis cenderung terpaku pada strategi dan
perencanaan yang dibuatnya, sangat fokus terhadap masalah dan juga cenderung
mencari dukungan sosial.
2.2.2.
Type
A Behaviour and Hostility
Pola
perilaku tipe A memiliki ciri-ciri seperti kompetitif, agresi, tingkat ketidaksabaran
yang tinggi dan merasa waktu mendesak (Rosenman et al., 1976). Pola perilaku
tipe A diteliti oleh 2 orang kardiologis, Meyer Friedman dan Ray Rosenman yang
menyatakan bahwa kerusakan jantung tidak sepenuhnya disebabkan oleh faktor-faktor
seperti diet kolesterol & merokok.
Mereka
membantu mengembangkan Western
Collaborative Group study, yang
meneliti faktor risiko penyakit jantung koroner (CHD) dalam sampel lebih dari
3000, pria paruh baya yang sehat. Mereka menemukan bahwa setelah 8,5 tahun
mereka yang diklasifikasikan sebagai Tipe A memiliki sekitar dua kali risiko
terkena CHD daripada mereka yang tidak diklasifikasikan sebagai Tipe A.
Namun,
penelitian berikutnya telah menyarankan bahwa mungkin hanya aspek-aspek
tertentu dari perilaku Tipe A merupakan risiko CHD. Secara khusus, hostility telah muncul sebagai komponen
yang paling beracun pada tipe perilaku A dan salah satu yang memprediksi CHD
(Miller et al., 1996).
Hostility
telah didefinisikan sebagai “sikap negatif terhadap orang lain, yang terdiri
dari permusuhan, fitnah dan niat buruk” (Smith, 1994, p.26). Komponen
karakteristik ini adalah sinis terhadap motif orang lain, ketidakpercayaan dan
gaya atribusi bermusuhan; yaitu kecenderungan untuk menafsirkan tindakan orang
lain sebagai agresif (Smith et al.,
2004). Meskipun definisi ini terutama kognitif, konstruksi emosi dan perilaku
terkait kemarahan dan agresi sering dimasukkan dalam konstruk permusuhan
(Miller et al.,1996). Konstruk diukur
dengan menggunakan item-item seperti ‘beberapa keluarga saya memiliki kebiasaan
yang mengganggu dan sangat mengganggu saya’ dan ‘lebih aman untuk tidak
percaya’, dengan respon ‘benar’ yang menunjukkan tingkat yang lebih tinggi hostility (Cook & Medley, 1954).
Ulasan berbagai penelitian yang meneliti permusuhan dan CHD menunjukkan bahwa
ada hubungan yang kecil tapi konsisten antara keduanya (Miller et al., 1996). Ada beberapa mekanisme
yang mungkin mendasari efek permusuhan pada CHD (Smith et al., 2004). Individu yang tinggi dalam hostility mungkin mengalami lebih banyak stres melalui konflik
interpersonal dan menunjukkan reaksi fisiologis yang lebih kuat terhadap stres
tersebut. Selain itu, orang bermusuhan mungkin sinis terhadap peringatan
kesehatan atau resisten terhadap nasihat medis dan mungkin jadi lebih kecil
kemungkinannya untuk terlibat dalam perilaku kesehatan seperti olahraga dan
tidak merokok.
Penelitian
yang lebih baru juga sekarang mengeksplorasi bagaimana ciri-ciri kepribadian
seperti hostility berkembang. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa hostility
kemungkinan dipengaruhi oleh latar belakang keluarga dengan perilaku yang
negatif dalam berinteraksi.
2.2.3.
Neuroticism
Merupakan
salah satu dari Big Five personality traits dari model OCEAN. Hal ini merupakan
kecenderungan dalam mengalami emosi negatif seperti distres, kecemasan,
ketakutan, kemarahan dan perasaan bersalah (Watson & Clark, 1984). Emosi yang
negatif disini merujuk kepada efek yang negatif. Tingkat neuroticism yang tinggi atau pengaruh negatif akan khawatir tentang
masa depan, memikirkan kegagalan dan kekurangan, dan memiliki pandangan yang
kurang menguntungkan tentang diri mereka sendiri dan orang lain. Individu yang
tinggi neuroticism lebih mungkin
untuk memikirkan pernyataan seperti 'banyak khawatir' dan 'mudah marah' sebagai
gambaran diri yang baik (International
Personality Item Pool, http://ipip.ori.org/ipip).
Penelitian
menunjukkan bahwa orang-orang dengan tingkat neuroticsm yang tinggi mengalami
gejala fisik yang lebih intens (Affleck et
al., 1992). Sebagai contoh, Costa dan McCrae (1987) melaporkan neurotisisme
berhubungan dengan frekuensi penyakit, masalah kardiovaskular, masalah
pencernaan dan kelelahan pada sampel wanita dengan berbagai usia. Seperti
permusuhan, sejumlah mekanisme neurotisisme dapat mempengaruhi hasil kesehatan. Salah satu cara di mana
neurotisisme mungkin berhubungan dengan hasil kesehatan mungkin dirasakan atau
stres yang dialami. Misalnya, mereka yang affectnya tinggi cenderung untuk negatif
melihat peristiwa seperti lebih stres dan sulit untuk mengatasi daripada mereka
yang rendah affect negatifnya (Watson, 1988). Tingkat tinggi neurotisisme juga
dapat mendorong orang untuk melihat dan mengeluh tentang gejala-gejala yang
mereka alami. Memang, studi menemukan bahwa neurotisisme lebih baik memprediksi
laporan sendiri daripada nilai obyektif kesehatan fisiknya (Watson &
Pennebaker, 1989).
Neurotisisme
telah terbukti berhubungan dengan lebih banyak merokok dan penyalahgunaan
alkohol dan makanan yang kurang sehat dan olahraga (Booth-Kewley & Vickers,
1994). Sebagai contoh, dalam kaitannya dengan merokok, studi longitudinal
menemukan bahwa mereka yang memiliki skor yang lebih tinggi neurotisisme cenderung
lebih mungkin untuk merokok dan menjaga kebiasaan itu (e.g. Canals, Blade &
Domenech, 1997). Mekanisme akhir dimana neurotisisme dapat mempengaruhi
kesehatan adalah melalui perubahan fisiologis. Penelitian telah menyoroti bahwa
tingkat neurotisisme yang lebih tinggi dapat mengurangi fungsi kekebalan tubuh
(Kiecolt-Glaser et al., 2002).
2.2.4.
Extraversion
Extraversion adalah salah satu
trait kepribadian berdasarkan teori kepribadian big five OCEAN model. Orang-orang yang memiliki level yang tinggi
pada trait kepribadian ini disebut extraverts
dan yang level rendah disebut introverts.
Extraverts cenderung merupakan
orang-orang yang outgoing, mudah bersosialisasi, asertif, memiliki semangat
yang tinggi, dan suka akan tantangan baru namun sangat mudah bosan. Sedangkan introverts cenderung lebih waspada, serius,
dan menghindari aktivitas dan lingkungan yang berlebihan bagi dirinya.
Trait
kepribadian extraversion telah
ditemukan berasosiasi dengan kesejahteraan psikologis yang positif dan
kesehatang fisik yang lebih baik. kesejahteraan psikologis misalnya karena
orang yang ekstroverts dikatakan
lebih memiliki mood yang positif, dan kaitannya dengan kesehatan fisik, orang
yang ekstroverts dikatakan memiliki
resiko yang lebih rendah terkena penyakit jantung koroner, asma, dan sebagainya
(Friedman & Booth-Kewley, 1987).
Namun
penjelasan yang pasti untuk hubungan antara extraversion
dan kesehatan masih belumlah jelas sepenuhnya. Hubungan keduanya mungkin
dikarenakan para ekstroverts mengalami
tingkat stres yang lebih rendah, memiliki strategi coping stress yang lebih baik, atau bahkan karena memiliki dukungan
sosial yang lebih daripada introverts.
Sama halnya juga dengan perilaku sehat yang dilakukan, belum ada bukti yang
pasti antara hubungan keduanya. Namun extroverts
juga cenderung diasosiasikan baik dengan perilaku sehat yang baik misalnya
berolahraga (Rhodes&Courneya, 2003) maupun perilaku yang berisiko bagi
kesehatan misalnya merokok (Booth-Knowley&Vickers,1994).
2.2.5.
Conscientiousness
Conscientiousness adalah suatu trait
kepribadian yang mengacu pada kemampuan untuk mengontrol perilaku dan kemampuan
menyelesaikan tugas. Individu dengan level yang tinggi pada trait ini lebih
teratur, hati-hati, teguh, disiplin, dan berorientasi pada pencapaian (achievements)
daripada individu yang memiliki level conscientiousness
yang lebih rendah (McCrae&Costa, 1987).
Penelitian mengatakan bahwa trait ini memiliki dampak pada perilaku
sehat, kesehatannya, dan bahkan panjang umurnya seseorang. Contohnya, the Terman life-cycle personality cohort study yang
mengukur conscientiousness, optimism, self-esteem, sociability,
stability of mood and energy level
pada sekitar 1000 anak dari umur 11 tahun. Friedman et al. (1993) melaporkan
bahwa di antara variabel variabel diatas, hanya conscientiousness yang berasosiasi dengan rendahnya tingkat
kematian di dalam kehidupan selanjutnya. Faktanya, orang-orang yang dengan conscientiousness yang tinggi hidup
lebih lama (sekitar 2 tahun) jika dibandingkan mereka yang memiliki level conscientiousness yang rendah.
Mekanisme
terpenting dimana conscientiousness mempengaruhi
kesehatan adalah melalui perilaku sehat. Dari penelitian diatas dikatakan
dampak conscientiousness pada panjang
umurnya individu disebabkan adanya efek pengurangan merokok dan alkohol. Conscientiousness dikatakan berhubungan
positif dengan perilaku protektif terhadap kesehatan (olahraga) dan berkorelasi
negatif dengan perilaku berisiko terhadap kesehatan (merokok).
2.3 PREDICTING
HEALTH BEHAVIOR
Sama
halnya dengan faktor kepribadian, pikiran dan perasaan kita juga berasosiasi
dengan perilaku sehat. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa model yang menjadi
kunci pikiran dan perasaan dapat memprediksikan perilaku sehat seseorang.
2.3.1 The Health
Belief Model
The Health Belief Model (HBM) mengatakan bahwa perilaku sehat sangat
ditentukan oleh dua aspek dari kognisi individual tentang perilaku sehat yaitu
persepsi ancaman penyakit (terbagi atas kerentanan (susceptibility) dan keparahan (severity))
dan evaluasi dari perilaku (terbagi atas kerugian/hambatan (costs) dan manfaat (benefit)) untuk menurunkan ancaman. Persepsi ancaman didasarkan
pada dua keyakinan (belief):
kerentanan yang dirasakan individu terhadap penyakit dan tingkat keparahan yang
dirasakan dari konsekuensi dari penyakit tersebut bagi individu. Persepsi
tersebut akan mempengaruhi derajat ancaman yang akan diterima individu.
Evaluasi respon yang mungkin terhadap ancaman tersebut melibatkan pertimbangan
manfaat dan hambatan yang berpotensial untuk bertindak untuk mengurangi ancaman
ini.
Di dalam
HBM, keempat faktor belief tersebut
menentukan kecenderungan individu untuk melakukan perilaku kesehatan. Tindakan
yang diambil ditentukan oleh evaluasi dari alternatif yang tersedia. Evaluasi
ini berfokus pada manfaat dari perilaku kesehatan dan hambatan yang diterima
dengan melakukan perilaku tersebut. Sehingga individu lebih cenderung untuk
melakukan perilaku kesehatan ketika mereka percaya bahwa diri mereka rentan
terhadap suatu kondisi tertentu yang mereka juga mempertimbangkan hal tersebut
dengan serius, dan percaya bahwa manfaat dari tindakan yang dilakukan untuk
melawan ancaman kesehatan lebih besar daripada hambatannya.
HBM
telah menyediakan kerangka kerja untuk menyelidiki perilaku kesehatan dan telah
banyak digunakan. Dan telah ditemukan
berhasil dalam memprediksi berbagai perilaku kesehatan.
2.3.2 Theory of Planned Behavior
Theory of Planned Behavior (TPB) banyak
dikembangkan oleh psikolog sosial dan kemudian diaplikasikan pada perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan (Corner & Sparks, 2005). TPB berfokus pada
cara menentukan keputusan individu dalam berperilaku. Faktor – faktor penting
dalam menentukan hal ini adalah intensi individu dalam berperilaku (intention) dan persepsi terhadap kontrol
perilaku (Perceived Behavioural Control). Intensi adalah rencana atau keputusan untuk
melakukan suatu perilaku. Perceived
Behavioural Control (PBC) adalah keyakinan seseorang bahwa dia bisa
melakukan perilaku tersebut. PBC dalam teori ini mirip dengan konsep self-efficacy dari Bandura (1982).
Dalam
TPB, intensi didasari oleh 3 faktor, yaitu attitudes,
subjective norms dan PBC. Attitudes
adalah evaluasi individu terhadap perilaku yang dilakukan dan kemudian dinilai apakah perilaku tersebut bersifat
positif atau negatif. Subjective norms
adalah persepsi mengenai pendapat orang lain. PBC juga mempengaruhi intensi dan
kepercayaan individu tersebut dalam melakukan perilaku tersebut. Menurut teori
TPB, orang yang ingin berhenti merokok apabila dia memiliki pemikiran positif
terhadap berhenti merokok (attitudes),
orang-orang disekitarnya juga berpikir bahwa dia harus berhenti (subjective norms) dan apakah individu
tersebut yakin dia bisa berhenti merokok (PBC).
Attitude
dalam melakukan suatu perilaku bergantung pada kepercayaan atau keyakinan
terhadap hasil akhir (outcomes) dari
perilaku tersebut. Kepercayaan ini disebut dengan behavioural beliefs atau outcome
expectancies. Misalnya, individu yang berolahraga yakin bahwa dengan
berolahraga, resiko terkena penyakit jantung akan menurun.
Subjective Norms didasari pada
apakah orang lain akan menyetujui perilaku yang akan dilakukan atau yang
disebut dengan normative beliefs. Normative beliefs dipengaruhi oleh
motivasi untuk mengikuti keinginan orang sekitar (motivation to comply). Semakin banyak yang menyetujui perilaku
tersebut, semakin positif subjective
norms.
PBC
dipengaruhi oleh control beliefs. Control
beliefs melihat faktor-faktor apa saja yang membuat perilaku itu lebih
gampang atau lebih sulit dilakukan. Faktor-faktor terkontrol ini dapat berupa
faktor internal (informasi, personal deficiencies, skill, emosi) dan faktor
eksternal (kesempatan, kebergantungan terhadap yang lain, halangan).
PBC
dalam TPB berhubungan erat dengan self-efficacy
(SE). SE adalah kepercayaan seseorang bahwa dia memiliki kemampuan dan sumber
daya untuk mencapai suatu goal walaupun terdapat halangan. Individu yang
memiliki SE yang tinggi akan cenderung untuk melakukan suatu perilaku. Perilaku
tersebut dapat berupa perilaku yang berhubungan kesehatan sampai dengan
kemampuan akademis (Bandura, 1997). SE dapat membantu individu untuk tetap
memiliki motivasi dalam melakukan suatu perilaku. Individu yang yakin bahwa dia
bisa sukses dalam melakukan sesuatu akan berusaha untuk mencari tantangan yang
lain. Mereka akan lebih berusaha keras untuk mencapai goal baru tersebut.SE
yang tinggi akan menunjukkan tingkat konsentrasi yang tinggi (Wood &
Bandura, 1989) yang kemudian dapat mengurangi tingkat kecemasan dalam melakukan
suatu perilaku.
TPB
memiliki faktor-faktor penting dalam perilaku yang terjadi. Walaupun faktor
lainnya juga berpengaruh terhadap perilaku tersebut, faktor tersebut akan
mempengaruhi salah satu komponen dari TPB.
2.3.3 Integrated
Models of the Determinants of Health Behavior
HBM dan
TPB adalah teori yang hampir menyerupai namun tetap ada perbedaan diantara
keduanya. Perbedaan ini dapat diatasi dengan pengintergrasian model seperti
yang dilakukan oleh Martin Fishbein. Martin Fishbein dan rekannya mengemukakan Major Theorists Model yang menyatakan
bawha perilaku yang muncul disebabkan oleh intensi, kendala yang berasal dari
lingkungan dan kemampuan individu (intentions,
environmental constraints & skills).
Model
yang telah diintergrasikan (intergrated
model) meliputi 8 variabel yang dapat mempengaruhi suatu perilaku. Variabel
tersebut kemudian dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama meliputi variabel
yang dianggap penting dan merupakan faktor penting dari suatu perilaku. Agar
suatu perilaku dapat terjadi, individu harus :
-
Memiliki intensi yang kuat
-
Memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan perilaku tersebut
-
Tidak ada halangan yang berasal dari lingkungan sekitar
Kelompok
kedua meliputi variabel yang dianggap mempengaruhi intensi walaupun ada
beberapa yang mempengaruhi perilaku secara langsung. Intensi yang kuat untuk
melakukan suatu perilaku terjadi ketika individu :
- Mempersepsikan bahwa
keuntungan dari melakukan dari suatu perilaku lebih besar daripada kerugiannya.
- Mempersepsikan bahwa
tekanan norma subjektif (subjective norms)
untuk melakukan sesuatu lebih besar daripada untuk tidak melakukan sesuatu
- Percaya bahwa
perilaku tersebut konsisten dengan self-image.
- Mengantisipasi
reaksi emosi untuk melakukan sesuatu lebih positif daripada negatif
- Memiliki self-efficacy yang tinggi
Model
yang telah diintergrasikan ini merupakan prediktor utama dalam suatu perilaku
namun model ini belum banyak dikembangkan dan diaplikasikan seperti HBM dan
TPB.
2.4 CHANGING HEALTH
BEHAVIOR
Setelah memahami
mengenai perilaku kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
kesehatan, selanjutnya kita harus menggunakan pengetahuan tersebut untuk
meningkatkan pola perilaku kesehatan dan mengurangi pola perilaku yang tidak
sehat. Berikut akan dijelaskan tiga cara dalam mengubah perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan.
a.
Cognitive Dissonance
Festinger (1957) melalui Cognitive Dissonance Theory menyatakan bahwa manusia termotivasi
untuk memiliki pandangan yang konsisten mengenai dunia karena
ketidakkonsistenan menghasilkan disonansi. Dengan kata lain, individu yang
berperilaku secara tidak konsisten terhadap sikap mereka akan meninmbulkan suatu
perasaan tidak nyaman yang disebut cognitive
dissonance. Setiap individu kemudian akan berusaha mengurangi perasaan
tidak nyaman tersebut dengan mengubah sikap mereka.
Teori ini menjelaskan salah satu hal yang
dapat mendorong perubahan sikap. Jika diterapkan dalam bidang kesehatan,maka
perilaku dan sikap terhadap kesehatan dapat berubah. Ketika seseorang mengalami
disonansi, maka cara yang paling mudah untuk mengurangi rasa tidak nyaman itu
adalah dengan mengubah sikap mereka terhadap suatu hal agar sesuai dengan
perilaku mereka.
Untuk itu, berdasarkan teori ini, akan sangat
memungkinkan untuk mengubah perilaku kesehatan seseorang dengan memunculkan
perbedaan antara sikap dengan perilaku. Perbedaan kognitif ditunjukkan antara
perilaku apa yang dianggap seharusnya dilakukan dengan perilaku kesehatan yang
mereka lakukan sendiri. Teknik ini tidak mampu mengubah sikap seseorang secara
langsung namun bertujuan mengubah persepsi seseorang mengenai hasil dari
perilaku mereka. Biasanya teknik ini akan lebih bekerja jika dihubungkan dengan
perilaku di masa lalu individu.
b.
Attitude Change
Attitude change atau perubahan sikap adalah
perubahan pada konstruk hipotetis seseorang pada aspek kognitif, afektif atau
dan perilaku yang dikarenakan pesan persuasi yang ditujukan pada seseorang.
Menurut Petty dan Cacioppo (1986) , ada dua cara suatu pesan persuasive dapat
menyebabkan perubahan sikap seseorang, yaitu:
·
Central or
Systematic Route
Rute ini menjelaskan bahwa dalam menerima pesan persuasi, informasi
akan dianalisa secara sistematik dan hati-hati. Perubahan sikap akan
dipengaruhi apakah pesan tersebut menimbulkan pemikiran yang menyenangkan. Jika
setelah menerima pesan persuasi, seseorang tersebut merasakan keuntungan dan
timbul pemikiran positif, maka sikap terhadap isi pesan itu juga akan positif.
·
Peripheral or
Heuristic Route
Melalui rute ini, informasi yang diterima tidak dipikirkan dengan
hati-hati. Perubahan sikap tidak dipengaruhi isi pesan melainkan muncul
tidaknya peripheral cues, yang
melihat apakah pesan tersebut datang dari seorang ahli. Berdasarkan rute ini,
perubahan sikap seseorang akan lebih mungkin terjadi apabila pesan datang dari
seorang ahli.
Pada kenyataannya, di kehidupan sehari-hari, orang tidak akan mampu
menganalisa keseluruhan pesan persuasif secara sistematis. Petty dan Cacioppo
kemudian mengemukakan Elaboration
Likelihood Model (ELM) yang menjelaskan mengenai elaborasi kognitif, yaitu
seberapa besar pemrosesan sistematis pada suatu pesan.
Tinggi rendahnya elaborasi ditentukan motivasi dan kemampuan untuk
berpikir mengenai pesan. Motivasi seseorang akan tinggi jika pesan tersebut
menarik baginya. Kemampuan untuk memikirkan pesan dipengaruhi ada tidaknya
tekanan waktu atau gangguan lain yang dapat menghambat proses berpikir terhadap
pesan.
Elaborasi kognitif yang tinggi diasosiasikan
dengan central route, dengan motivasi
tinggi dan kemampuan menganalisa pesan dengan sistematis. Berhasil atau
tidaknya suatu proses persuasi akan bergantung pada kuatnya argument. Argument
yang kuat akan mampu mempengaruhi seseorang dan sebaliknya argument yang lemah
tidak akan berpengaruh..
Seseorang akan mampu menggunakan rute ini
apabila memiliki waktu untuk memikirkan pesan secara sistematis dan juga
apabila ia melihat pesan tersebut
relevan dengan pribadinya. Fokus individu tersebut akan pada kuatnya argument
dan tidak melihat apakah sumber informasinya merupakan seorang ahli atau bukan.
Rute ini memerlukan usaha yang lebih dan
merupakan pandangan tradisional mengenai proses persuasi. Perubahan sikap yang
terjadi cenderung lebih stabil dan mampu mengubah perilaku.
Elaborasi kognitif yang rendah diasosiasikan
dengan peripheral route, dimana
motivasi rendah dan kemampuan memikirkan pesan juga rendah. Berhasil tidaknya
suatu proses persuasi bergantung pada karakteristik lain selain isi pesan.
Seorang individu akan mengevaluasi pesan dengan suatu aturan sederhana atau
dengan pola pengambilan keputusan singkat (heuristik), seperti :
v Expertise – ketepatan /akurasi, menjelaskan suatu pesan akan benar jika dikemukakan
oleh seorang ahli.
v Consensus – kebenaran, menjelaskan suatu pesan akan benar jika banyak orang yang
setuju.
v Length – kekuatan, menjelaskan suatu pesan akan benar jika mengandung banyak
argumen.
Ada kalanya, kemampuan menganalisa pesan seseorang rendah diakibatkan
oleh tekanan situasional, seperti waktu yang singkat dalam memproses informasi.
Selain itu, juga dipengaruhi perbedaan individual yang diakarenakan kepribadian
orang per orang. Ketika seseorang merasa memiliki relevansi yang rendah dengan isi
pesan, ia juga akan lebih cenderung menggunakan peripheral route ini dimana akan lebih kuat dipengaruhi oleh ahli
sebagai sumber informasi. Rute ini
memerlukan usaha yang lebih rendah dan perubahan sikap yang terjadi kurang
stabil atau mudah berubah lagi.
Dalam aplikasinya dalam dunia kesehatan, ahli
kesehatan harus mendukung pemrosesan sistematik yang menekankan relevansi
personal, memberikan presentasi yang bebas gangguan, menggunakan pengulangan
dan meningkatkan keyakinan dalam penilaian masing-masing individu.
c.
Enhancing Self-efficacy
Menurut Bandura (1997), self-effficacy
seseorang dapat meningkat melalui :
·
Mastery experience
Pengalaman seseorang berhasil melakukan sesuatu meningkatkan
kepercayaan diri seseorang dalam melaksanakan suatu tugas baru yang mirip
dengan tugas sebelumnya. Dengan teori ini, dalam suatu proses pembelajaran
sebaiknya dilakukan dengan teknik graded
tasks. Yaitu suatu teknik pembelajaran dengan memberikan tugas yang mampu
dilakukan individu tersebut dan ditingkatkan kesulitannya. Dengan teknik ini,
akan melatih kemampuannya dan juga memberikan feedback yang juga meningkatkan self-effficacy
.
·
Vicarious experience
Ketika melihat orang lain (yang dipersepsikan memiliki karakteristik
yang sama ) mampu melakukan suatu tugas – positive
models – maka seorang individu juga akan lebih yakin bahwa ia mampu
menyelesaikan tugas tersebut dan meningkatkan self-effficacy . Sebaliknya jika seseorang melihat orang tersebut
gagal – negative models –, maka ini
akan menurunkan self-effficacy orang
tersebut.
·
Verbal persuasion
Seseorang juga dapat dipersuasi dengan argument yang menyatakan bahwa
orang lain mampu dan berhasil dalam melakukan tugas dengan tantangan yang sama
dengan tugas yang akan dijalani orang tersebut. orang juga dapat dipersuasi
dengan menekankan kemampuan dan keberhasilan individu itu sendiri di masa lalu.
Teknik ini akan lebih efektif dengan mengoptimalkan kepercayaan dan keahlian
sumber informasi.
·
Mengubah persepsi mengenai
kondisi fisiologis dan afektif.
Emosi afektif ataupun kondisi fisiologis yang muncul ketika melakukan
suatu tugas dipersepsika secara positif sehingga dapat meningkatkan performa
dan meningkatkan self-effficacy.
Secara
keseluruhan, dalam aplikasi dalam psikologi kesehatan, akan lebih efektif untuk
meningkatkan perilaku kesehatan apabila digunakan kombinasi dari ketiga metode
di atas. Berdasarkan penelitian yang dihubungkan dengan kepribadian, seseorang
yang memiliki need for cognition – kecenderungan menikmati
proses berpikir – yang tinggi, jika
dimasukkan dalam kelompok dengan kepribadian yang berbeda-beda maka proses
persuasi dapat menjadi lebih efektif. Sebaliknya seseorang dengan need for
cognition yang rendah, cenderung menggunakan peripheral route, sehingga akan
lebih efektif jika dipersuasi dengan pendekatan afeksi mengenai suatu perilaku.
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Psikologi
Kesehatan berkembang dari psikologi sosial, psikologi perkembangan, penelitian
mengenai kepribadian dan perbedaan individu. Dari makalah ini dapat disimpulkan
bahwa aspek-aspek kepribadian individu seperti sifat optimis, neuroticism,
conscientiousness, dan sebagainya dapat mempengaruhi kesehatan individu.
Para
ahli juga menemukan beberapa model-model kognitif yang mempengaruhi perilaku
seseorang. Model ini adalah Health Belief Model, The Theory of Planned
Behaviour, dan Integrated Model dari Fishbein dan rekannya.
Kognitif
individu juga berpengaruh terhadap perilaku individu. Terdapat 3 cara untuk
merubah perilaku seseorang, yaitu cognitive dissonance, attitude change dan
enhancing self-efficacy.
No comments:
Post a Comment